MENGKAJI FILSAFAT MENURUT AL-QUR’AN
MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata kuliah : Filsafat Umum
Dosen : Iwan M. Ag
Oleh
:
Muhammad Faisal Rahman
(59410385)
TARBIYAH / PAI-D / II
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
2010
BAB I
PEMBAHASAN
A. Filsafat Penciptaan menurut al-Qur’an
Pada
pembahasan kali ini kita akan mencoba menganalisa beberapa ayat al-Quran yang
di dalamnya telah menyiratkan tentang filsafat, arah, sasaran, maksud, dan tujuan
penciptaan, di antaranya :
1. “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 30)
2. “Dan Dia-lah yang menjadikanmu para khalifah di bumi.” (Qs.
Al-An’am [6]: 165)
Berdasarkan
ayat-ayat di atas yang diturunkan berkaitan dengan penciptaan manusia,
dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah dijadikannya manusia
sebagai khalifah dan penerus Tuhan. Dan yang dimaksud dengan penerus Tuhan
adalah bahwa Tuhan meletakkan sebagian dari sifat yang dimiliki-Nya dalam diri
manusia sebagai sebuah amanah dimana jika manusia mengaktualkan potensi yang
dimilikinya ini, maka mereka akan bisa meraih tingkatan tertinggi dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, berdasarkan ayat-ayat tersebut, tujuan dari
penciptaan tak lain adalah manusia sempurna.
Pada ayat lain
Allah Swt berfirman, “Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-An’am [6]: 162)
Berdasarkan
ayat di atas, kehidupan, ibadah bahkan kematian seorang manusia adalah berasal
dari Tuhan, oleh karena itu, dalam seluruh keadaan kehidupannya manusia harus
melakukan penghambaan kepada Tuhan.
“Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyyat [56]: 56)
Ayat di atas
menunjukkan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk ibadah dan
penghambaan Tuhan, yaitu manusia harus menyerahkan dirinya untuk melakukan
penghambaan kepada Tuhan dan tidak menundukkan kepalanya kecuali di
hadapan-Nya. Dengan mencermati ayat di atas, kita akan menemukan beberapa poin
berikut:
1. Pada ayat ini, redaksi “… melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
menunjukkan dan menegaskan bahwa “makhluk atau ciptaan adalah penyembah Tuhan”,
dan bukan bermakna bahwa “Dia adalah yang disembah oleh makhluk”, karena hal
ini bisa dilihat dari ayat yang mengatakan “… supaya mereka menyembah-Ku“,
bukannya mengatakan “Akulah yang menjadi sembahan mereka”. [1]
2.
Yang dimaksud dengan ibadah di
sinipun bukanlah ibadah takwiniyyah (seluruh ciptaan), karena sebagaimana kita
ketahui seluruh eksistensi alam penciptaan ini, masing-masing melakukan ibadah
dengan bahasa takwiniyyah mereka, dalam salah satu ayatnya Allah Swt berfirman,
“Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit-langit dan apa yang ada di bumi”
dan jika yang dimaksud oleh al-Quran dari ibadah adalah ibadah takwiniyyah,
maka ayat ini tidak hanya akan menyebutkan jin dan manusia saja.[2]
Pada tempat lain Dia
(Allah) berfirman, “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali
kepada-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 156).
Ayat di atas menyatakan
bahwa selain manusia berasal dari Tuhan, Dia juga merupakan tempat tujuan
manusia, karena awal manusia adalah dari Tuhan dan akhirnya pun menuju ke
arah-Nya. Sesuai dengan ayat ini dikatakan bahwa tujuan penciptaan manusia
adalah melakukan perjalanan ke arah Tuhan. Dengan mencermati ayat di atas, kita
akan mengetahui bahwa kalimat yang disebutkan di atas adalah “kembali
kepada-Nya” dan bukan “kembali di dalam-Nya” sehingga hal ini tidak akan
mengarahkan kita pada yang dilakukan oleh sebagian para sufi, dimana mereka
meyakini bahwa tujuan penciptaan manusia adalah kefanaan dalam Tuhan, melainkan
kita harus mengatakan bahwa manusia memiliki perjalanan ke arah-Nya, yaitu
perjalanan ke arah kesempurnaan yang tak terbatas. Dengan gerakan
kesempurnaannya inilah manusia harus menarik dirinya ke arah Tuhan.
v “Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang
ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (Qs.
Al-Maidah [5]: 18)
v “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada
Allah-lah kembali (semua makhluk).” (Qs. An-Nur: 42, dan Qs. Fathir [35]: 18)
v “Dan hanya kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” (Qs.
Fathir [35]: 4, dan Qs. Al-Hadid [57]: 5)
v “Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Qs.
As-Syura [42]: 53)
v “… kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan kembali.” (Qs.
As-Sajdah [32]: 11, dan Qs. Al-Jatsiyah [45]: 15)
v “Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ….” (Qs.
Al-Maidah [5]: 48, dan Qs. Hud [7]: 4)
v “Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan
kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.” (Qs.
Al-Insyiqaq [84]: 6)
Ayat di atas pun menempatkan manusia sebagai pekerja
keras yang bergerak dan berusaha menuju ke arah sumber keberadaan.
Berdasarkan ayat-ayat di
atas, manusia berada dalam pergerakannya menuju Tuhan, dan keseluruhan
aturan-aturan al-Quran pun merupakan perantara untuk sampai pada tujuan ini,
yaitu perjalanan menuju ke arah Tuhan. Di sini akan muncul sebuah pertanyaan
yaitu apa makna dan mafhum dari perjalanan ke arah Tuhan dan berdekatan
dengan-Nya? Apakah manusia yang terbatas dan tercipta dari tanah ini memang
bisa berdekatan dengan Tuhan yang metafisik dan memiliki wujud mutlak? Dalam
menjawab pertanyaan ini harus dikatakan: dikarenakan hakikat wujud setara
dengan kesempurnaan dan Tuhan pun merupakan wujud murni dan kesempurnaan yang
mutlak, maka setiap eksistensi yang berada dalam tingkatan wujud lebih tinggi,
pasti akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Oleh karena itu,
dengan memiliki kewujudan yang lebih sempurna melalui iman dan kesadaran diri,
hal ini akan bisa mengantarkan manusia pada posisi yang semakin dekat kepada
Tuhan.
Ringkasnya, manusia
dikatakan tengah melakukan perjalanan ke arah Tuhan karena dia telah melewati
tahapan-tahapan wujud, dan wujud yang dimilikinya ini telah mengantarkannya ke
arah keberadaan mutlak. Demikian juga dengan yang dimaksud dari ibadah dan
penghambaan yang juga merupakan tujuan penciptaan, tak lain adalah supaya
manusia dengan pilihan yang telah diputuskannya sendiri, mau melakukan usahanya
untuk membersihkan dan mensucikan dirinya lalu melintasi tahapan kesempurnaan
dan berjalan ke arah kesempurnaan mutlak.
Setiap manusia yang
mengaktualkan potensi-potensi keberadaannya bergerak menuju interaksi dengan
Tuhan, maka dalam kondisi ini, ia akan berada dalam posisi yang lebih dekat
dengan Tuhan. Dan kedekatan dengan Tuhan inipun memiliki tahapan dimana setiap
individu yang melakukan perjalanan lebih panjang dalam lintasannya menuju
Tuhan, maka ia pun akan mendapatkan kedekatannya yang lebih banyak pula dengan
Tuhan. Eksistensi yang ditempatkan di sepanjang kesempurnaan dan berada dalam
lintasan menanjak ke arah yang tak terbatas, dengan setiap langkah positif yang
diambilnya untuk menuju ke arah-Nya, akan menjadi satu langkah untuk lebih
‘dekat’ lagi kepada-Nya.
Pada surah Hud ayat 118,
Allah Swt berfirman, “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia
umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk (menerima rahmat) itulah
Allah menciptakan mereka.”
Ayat di atas mengatakan
bahwa tujuan penciptaan manusia adalah rahmat, yaitu manusia diciptakan untuk
menerima rahmat Tuhan, sebagaimana firman-Nya, “Dan untuk (menerima rahmat)
itulah Allah menciptakan mereka.” (Qs. Hud: 119)
Di sini akan muncul pertanyaan tentang apa yang
dimaksud dengan rahmat. Dengan ibarat lain, apa yang dimaksud dengan pernyataan
yang mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk rahmat?
Maka jawabannya adalah
bahwa yang dimaksud dengan rahmat tak lain adalah bimbingan dan hidayah Ilahi
yang akan menjadi bagian dari kondisi manusia supaya mendapatkan kebahagiaan
yang hakiki. Dengan perkataan lain, rahmat adalah hidayah takwiniyyah dan
tasyri’iyyah yang menyebabkan pertumbuhan dan kesempurnaan manusia. Dengan
uraian ini, antara ayat di atas dengan ayat “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyyat [56]: 56)
tidak ada sedikitpun perbedaan, karena dengan melalui ibadah dan rahmat,
seluruh potensi wujud manusia bisa ditinggikan dan akan memperoleh kesempurnaan
akhir wujud dirinya.
Allah Swt berfirman, “Dan
Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arasy-Nya berada
di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya,
…” (Qs. Hud [11]: 7) “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi
sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka
yang terbaik perbuatannya.” (Qs. Kahf [18]: 7) “Yang menciptakan mati dan hidup
supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Mulk [67]: 2)
Berdasarkan ayat-ayat di
atas, Tuhan menciptakan manusia supaya bisa diketahui manakah manusia yang baik
dan manakah yang buruk. Manakah manusia yang melakukan perbuatan yang baik dan
shaleh serta manakah yang melakukan perbuatan yang tercela dan tak shaleh. Menurut
ayat-ayat ini, masing-masing manusia yang memiliki perbuatan lebih baik,
berarti dia telah lebih mendekatkan dirinya pada tujuan penciptaan. Pada
dasarnya, ayat-ayat ini menempatkan tujuan penciptaan manusia pada lintasan
manusia menuju ke arah kesempurnaan keberadaannya.
B.
Nabi, Imam, dan Tujuan Penciptaan
Pada hadis-hadis Islam
dikatakan bahwa Rasulullah Saw merupakan tujuan dari penciptaan alam, dan Tuhan
menciptakan alam ini karena beliau. Dalam salah satu hadis qudsi Allah Swt
berfirman, “Jika engkau tiada, maka niscaya Aku tidak akan menciptakan gugusan
bintang.”[3]
Pada hadis qudsi yang lain, Allah Swt berfirman, “Andai bukan karena
Muhammad (saw), maka Aku tidak akan menciptakan dunia maupun akhirat, demikian
juga Aku tidak akan menciptakan langit, bumi, arsy, singgasana, lauh, qalam,
surga dan neraka. Dan andai bukan karena Muhammad Saw, maka wahai para manusia,
Aku tidak akan menciptakan kalian,”[4] demikian juga pada hadis lainnya Allah Swt
berfirman, “Aku menciptakan benda-benda untukmu dan Aku menciptakanmu
untuk-Ku.”[5]
Syeikh Shaduq
Ra meriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda kepada Imam Ali As, “Wahai
Ali, seandainya bukan karena kita, maka Allah tidak akan menciptakan manusia
dan juga tidak akan menciptakan surga, neraka, maupun langit atau bumi”[6]
Dikarenakan Rasulullah Saw dan Imam Ali As merupakan
individu-individu manusia yang paling sempurna, dan tujuan penciptaan pun
adalah terwujud dan tercapainya manusia paling sempurna, maka seakan Rasulullah
Saw dan Imam Ali As merupakan arah, tujuan, dan sasaran penciptaan segala
realitas.
Demikian juga sesuai dengan apa yang termaktub dalam
surah Al-Dzariyyat ayat ke 56 dimana Allah Swt berfirman, “Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”, dimana tujuan
dari penciptaan adalah ibadah, bisa dikatakan bahwa karena tahapan paling
tinggi dan paling sempurna dari ibadah hanya akan terwujud dari Rasulullah saw
dan Imam Ali As, maka kesimpulannya, Rasulullah Saw dan Imam Ali As tergolong
sebagai tujuan dan filsafat penciptaan.
Berdasarkan surah al-Baqarah ayat 30, Allah Swt
berfirman, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
pun bisa dikatakan bahwa Rasulullah saw dan Imam Ali As merupakan tujuan
penciptaan, karena hanya Rasulullah saw dan Imam As As lah yang mampu
mengaktualkan potensi-potensi internalnya dan berahlak dengan ahlak Ilahi serta
layak untuk memegang peran sebagai “khalifatullah”.
C. Definisi Ibadah
Ketika dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan adalah
ibadah, sebagian menyangka bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah hanyalah
melaksanakan amalan-amalan dan ritual-ritual yang bernama doa seperti shalat,
puasa dan bermacam-macam zikir.
Apakah hakikat ibadah dan penyembahan hanyalah seperti
ini? Tentu saja tidak. Karena doa hanyalah bagian dari ibadah. Berdasarkan
pandangan dunia al-Quran, setiap gerakan dan perbuatan positif yang dilakukan
oleh manusia merupakan ibadah, dengan syarat, gerak dan perbuatan tersebut
harus dilakukan berdasarkan pada motivasi untuk mendekat pada rububiyyah dan
dilakukan berlandaskan pada nilai-nilai kewajiban Ilahi.
Oleh karena itu, definisi dari petani yang pada
pertengahan malam menggunakan tangan-tangan kasarnya untuk mengairi perkebunan
dan lahan pertaniannya demi menyejahterakan kehidupannya dan keluarganyam para
pekerja yang bergelimang dengan suara-suara bising mesin-mesin pabrik dari pagi
hingga malam hari, dokter yang berada di ruang operasi dengan seluruh daya dan
konsentrasinya untuk menyelamatkan jiwa manusia, seorang dosen yang melakukan
observasi dan pengkajian pada tengah malam untuk memecahkan kesulitan pemikiran
manusia, dan sebagainya, jika dilakukan dengan niat dan tujuan Ilahi, maka
setiap saat baginya berada dalam keadaan ibadah.
Tujuan dari semua amal, perbuatan dan perilaku manusia
adalah untuk Allah Swt, yaitu manusia akan sampai pada tahapan dimana bahkan
makan, munum, tidur,, hidup dan matinya, keseluruhannya adalah untuk Allah Swt,
sebagaimana dalam salah satu firman-Nya, “Katakanlah, “Sesungguhnya salat,
ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs.
Al-An’am [6]: 162)
Gerakan-gerakan dan pikiran-pikiran yang ditekankan
sebagai doa dalam Islam adalah supaya manusia menjaga penghambaannya dan
mengarahkan dirinya kepada Tuhan dengan kesadaran yang dimilikinya. Doa
tidaklah sebagaimana yang dipersangkakan oleh sebagian pihak tenang
ketiadaannya interfensi dalam perbuatan Tuhan, melainkan merupakan perantara
dan wasilah untuk memperkuat kehendak dan cahaya harapan dalam menghilangkan
hambatan-hambatan yang menghalangi jalan pertambahan tingkat manusia, ketika
seluruh pintu di hadapan manusia telah tertutup dan manusia berhadapan dengan
jalan buntu dan kehilangan harapan, maka doa merupakan satu-satunya wasilah
untuk kegembiraan dan kebahagiaan ruh dan berpaling dari kesedihan dan bergerak
ke arah jurang yang mendaki menuju kesempurnaan, Dengan melalui doa, manusia
akan mencuci karat-karat dan pencemaran yang terdaoat di dalam dirinya dan
mempersiapkan dirinya hingga melangkah pada lintasan kesempurnaan.
Hakikat doa merupakan “terbangnya” ruh ke arah Yang
Dicintai dan “terbangnya” hamba ke arah Tuhan, sebuah “penerbangan” dari
tingkatan yang sangat rendah yang tanpa batas ke arah tingkatan yang sangat
tinggi yang juga tanpa batas, dan merupakan “penerbangan” hamba yang rendah ke
arah kesempurnaan Ilahi.
Alexis Carel berkaitan dengan masalah ini menuliskan,
“Kepada manusia, doa memberikan kekuatan untuk menanggung kesedihan dan musibah
dan ketika kata-kata rasional tidak lagi mampu untuk memberikan harapan, doa
akan memberikan harapan kepadanya dan memberikan kekuatan dan kodrat untuk
berdiri tegak dalam menghadapi peristiwa-peristiwa besar.”[7]
Doa memberikan pengaruh
pada sifat-sifat dan karakteristik-karakteristik manusia. Oleh karena itu, doa
harus dilakukan secara kontinyu.
Masyarakat yang membunuh
kebutuhannya berdoa, biasanya tidak akan terbebas dari kerusakan dan
kerendahan.[8]
William James dalam masalah doa
mengatakan, “Sebagaimana kita menerima hakikat-hakikat dan
realitas-realitas yang ada pada dunia medis, para ahli medis mengungkapkan
bahwa pada banyak kasus, doa, memberikan pengaruh pada kesembuhan kondisi
pasien. Oleh karena itu, harus diketahui bahwa doa merupakan salah satu dari
perantara yang berpengaruh dalam pengobatan. Dalam banyak kasus yang dihadapi
oleh manusia, doa sangat berpengaruh untuk menyembuhkan penyakit-penyakit ruh
dan hasilnya, akan diikuti dengan kesehatan badan dan jasmani mereka.[9] Doa dan shalat bukan merupakan perintah
imajiasi atau benak melainkan perolehan lebih banyak dari kekuatan spiritual
atau dengan kata lain, rahmat Ilahi.[10]
Berdasarkan apa yang telah kami katakan, ibadah yang
dalam agama Islam merupakan filosofi dan tujuan penciptaan- memiliki suatu
karakteristik penting yang sama sekali tidak dipunyai oleh satu agama atau
mazhab manapun hingga sekarang ini selain agama Islam, karakteristik itu adalah
meliputi aktivitas-aktivitas manusia, apakah manusia itu sedang berdoa kepada
Tuhannya, melakukan shalat, dan mensucikan dirinya, maupun sedang sibuk dan
melakukan kegiatan di tengah-tengah masyarakat, di tengah-tengah keluarga, atau
menjalin hubungan yang erat dengan istri, anak-anak, dan kedua orang tua.
Sementara ibadah dalam mazhab dan agama yang lain hanya berkaitan dengan
uapcara doa dan menjalin hubungan dengan Tuhan secara resmi, dan tidak mencakup
kegiatan-kegiatan budaya, politik, ekonomi, keluarga, dan yang sejenisnya.
D. Kedekatan kepada Tuhan (Taqarrub Ilallah)
Posisi tertinggi yang bisa diraih oleh manusia adalah
maqam kedekatan kepada Tuhan atau kedekatan Rububiyyah. [11]
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt berfirman, “Hai
manusia, kamulah yang memerlukan kepada Allah; dan hanya Allah-lah Yang Maha
Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Fathir [35]: 15)
Yang dimaksud dengan kesempurnaan akhir adalah bahwa
manusia akan sampai pada suatu maqam dimana dia memahami kekurangan dan
kebergantungannya kepada Tuhan. Pemahaman ini, bukan merupakan pemahaman yang
diperolah secara hushuli (perolehan) karena pemahaman perolehan ini bisa
diperoleh dengan bantuan dari argumentasi-argumentas filosofi, melainkan yang
dimaksud pemahaman di sini adalah pemahaman hudhuri dan penyaksian irfani
(mukasyafah dan musyahadah).
Artinya bahwa manusia akan menggapai maqam tersebut
dimana dia tidak ada sesuatupun yang akan mampu menarik perhatiannya selain
Tuhan, wujudnya seakan telah memurni dan tidak ada satu perbuatanpun yang
dilakukannya selain untuk mencari keridhaan Ilahi. Manusia yang telah mencapai
maqam dan posisi seperti ini sama sekali tidak akan pernah menganggap adanya
kemandirian untuk dirinya dan dia mengarungi kehidupannya salam satu interaksi
permanen dan penyaksian irfani dengan Tuhan. Pada posisi dan maqam seperti ini
dimana tidak ada lagi bekas dari diri dan kedirian baginya, apapun yang ada
adalah dari Tuhan. Imam Ali As berkaitan dengan interaksi pemahaman hudhuri dan
penyaksian irfani bersabda, “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat.”[12] “Aku tidak melihat
sesuatu kecuali aku melihat Tuhan bersamanya.”[13]
Imam Khomeini ra, dalam pembahasan mengenai liqaullah (perjumpaan dengan Tuhan)
dan maqam kedekatan Rububiyyah (kedekatan kepada Tuhan) mengatakan, “Harus
diketahui bahwa apa yang mereka maksud bahwa jalan menuju pertemuan dengan
Tuhan (liqaullah) dan penyaksian keindahan dan keagungan Yang Maha Benar, ini
bukanlah berarti bahwa pengenalan hakiki terhadap dzat Tuhan Yang Maha Suci
adalah merupakan suatu hal yang dibenarkan, atau pada ilmu hudhuri dan
penyaksian spiritual yang obyektif serta pelingkupan menyeluruh atas Zat Tuhan
adalah hal yang memungkinkan, melainkan kemustahilan pencapaian pengetahuan dan
pengenalan hakiki terhadap Zat Suci Tuhan baik dalam lingkup pengetahuan
universal (pengetahuan rasional dan persoalan-persoalan argumentatif),
tafakkur, penyaksian irfani, dan penyingkapan dengan mata batin adalah
kesepakatan seluruh filosof dan urafa. Akan tetapi, mereka yang mengklaim
berada di dalam maqam ini mengatakan bahwa seorang salik akan mencapai kesucian
hati dan menerima manifestasi Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan setelah mencapai
ketakwaan sempurna, menyingkirkan segala keinginan hati kepada segala sesuatu
di seluruh alam, menolak segala tingkatan-tingkatan spiritual, menyirnakan
segala ego dan keakuan, perhatian sempurna dan penerimaan menyeluruh atas
Tuhan, Nama-nama, Sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Zat Suci Tuhan,
dan melakukan riyadhah hati.
Dengan demikian, akan terkoyaklah hijab-hijab tebal antara hamba dengan
Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, kemudian dia akan fana dalam Nama-nama dan
Sifat-sifat-Nya, lalu dia akan mencapai suatu kemulian, kesucian, dan
keagungan. Puncaknya, dia akan menggapai kesempurnaan zat. Dalam keadaan
seperti ini, tidak ada lagi hijab dan penghalang antara jiwa suci para salik
dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan. Dan kemungkinan sebagian dari Urafa
telah mampu menyirnakan hijab cahaya, yakni hijab Nama-nama dan Sifat-sifat
Tuhan, dan telah menerima manifestasi Zat Suci Tuhan serta menyaksikan dirinya
bergantung secara mutlak kepada Zat Suci-Nya. Dalam penyaksiannya ini, dia
menyaksikan dirinya berada dalam cakupan dan lingkupan hakiki Zat Tuhan serta
fana dalam Zat-Nya. Lantas dia melihat dengan mata batinnya bahwa wujudnya dan
seluruh makhluk adalah manifestasi-Nya. Dan apabila di antara Tuhan dan makhluk
pertama-Nya -yang bersifat non marteri itu tidak terdapat hijab dan bahkan
telah ditegaskan secara rasional bahwa di antara makhluk-makhluk non materi itu
sendiri tidak terdapat hijab-, maka di antara Tuhan dan hati salik -yang
keberluasan dan keberliputannya sederajat dengan mahluk non materi dan bahkan
memiliki derajat yang paling tinggi- tidak terdapat hijab dan penghalang.[14]
Maqam spiritual ini disebut juga maqam fana
manusia di dalam Zat Suci Tuhan. Akan tetapi fana di sini tidak bermakna hulul[15] atau
menyatu dengan Zat Ilahi sebagaimana yang dianggap oleh sebagian kelompok Sufi.
Melainkan fana yang dimaksud adalah sirnanya segala kondisi dan keadaan jiwa
manusia yang bersifat ego, keakuan, dan ananiyyah. Menurut Ayatullah Tehrani,
fana itu memiliki dua bentuk, “Pertama, dia berada dalam lingkup kehidupan
alami dan jasmani, tetapi pada kondisi ini dia berhasil mencapai maqam fana,
dan fana ini berada sebelum kematian. Sebagian orang-orang mukmin yang berhati
ikhlas yang meniti jalan menuju Tuhan telah berhasil menggapai maqam fana di
dalam kehidupan dunia ini. Oleh karena itu, maqam fana bagi mereka ini seperti
penjelmaan keadaan-keadaan berbeda. Kedua, fana bagi orang-orang yang tidak
berada dalam ruang kehidupan materi dan dunia. Mereka telah melewati kehidupan
barzakh dan kiamat, dan termasuk orang-orang yang ikhlas dan yang dekat dengan
Tuhan serta tinggal dalam maqam fana pada Zat Suci Ilahi. Mereka meninggalkan
badan mereka sendiri dan tidak lagi dalam keadaan berjasmani, begitu pula telah
melewati kehidupan barzakh dan kiamat serta tidak lagi memiliki keinginan dan ego.
Dengan demikian, mereka telah “masuk” dalam wilayah ketuhanan karena berhasil
meninggalkan segala manisfestasi-manifestasi-Nya. Mereka tidak lagi berada
dalam “bentuk-bentuk” ego kemanusiaan dan tidak terlingkupi dengan manifestasi
suatu Nama-nama dan Sifat-sifat Ilahi tertentu”
Manusia yang telah mencapi maqam fana dalam Tuhan
(fana fillah) akan mempunyai suatu karakterisitk dan kekhususan -yang tidak
perlu disampikan pada kesempatan ini-, akan tetapi kami mencukupkan untuk
menutip dua hadis dalam persoalan ini supaya menjadi jelas tanda-tanda
seseorang yang telah mencapai kedekatan dengan Tuhan.
“Hamba-Ku tidak akan mencapai kedekatan kepada-Ku
dengan sesuatu yang lebih dicintai di sisi-Ku dari apa-apa yang diwajibkan
atasnya dan sesungguhnya dia pasti dekat kepada-Ku dengan perbuatan nawafil
(perbuatan-perbuatan yang sunnah dan mustahab) sedemikian sehingga Aku
mencintainya, dan ketika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang
dengannya dia mendengar dan Aku menjadi penglihatannya yang dengannya dia
melihat dan Aku menjadi lisannya yang dengannya dia berbicara serta Aku menjadi
tangannya yang dengannya di mengambil, apabila dia berdoa kepada-Ku Aku akan
mengabulkannya dan kalau dia meminta kepada-Ku Aku akan memberikannya.”[16]
Berdasarkan hadis
tersebut, manusia yang telah mencapai maqam kedekatan kepada Tuhan maka
keinginan dan kehendaknya dengan izin Tuhan akan berlaku di alam ini seperti
kehendak dan iradah Tuhan Yang Maha Tinggi. Penglihatannya menjadi penglihatan
Tuhan, pendengarannya menjadi pendengaran Tuhan, dan tangannya menjadi tangan
Tuhan. Yakni segala amal dan perbuatannya telah mendapatkan warna ketuhanan,
dengan demikian, dengan izin Tuhan, dia dapat mengatur dan mengubah sesuatu di
alam ini. Dengan ungkapan lain, karena dia memiliki kekuasaan penuh atas
hukum-hukum alam (hukum takwiniyyah) maka dia adalah penguasa atas
kekuatan-kekuatan alam. Lebih dari itu, doanya senantiasa terkabulkan, yakni
apa saja yang diinginkan dari Tuhan niscaya Tuhan akan mengabulkan segala
permintaan dan permohonannya. “Bagi Tuhan terdapat hamba-hamba yang taat
terhadap apa-apa yang Dia inginkan, maka Tuhan pun mengikuti apa-apa yang
mereka kehendaki sedemikian sehingga ketika mereka menyatakan: jadilah, maka
jadilah sesuatu itu.”
E. Alam Eksistensi Mengarah
kepada Kesempurnaan
Dari pembahasan sebelumnya kita akan sampai pada kesimpulan berikut bahwa
tujuan penciptaan manusia adalah kembali pada manusia itu sendiri, dan bukan
karena penciptaan alam dan eksistensi merupakan motivasi bagi Tuhan sehingga
dengan kemunculan alam dan alam-alam Ia akan sampai pada tujuan-Nya. Melainkan
karena keniscayaan dari kemuliaan tak terbatas Tuhan adalah penciptaan
eksistensi dan alam eksistensi.
Di sini kita akan membahas bahwa hikmah Ilahi meniscayakan
eksistensi-eksistensi di alam penciptaan ini terutama yang bernama manusia akan
melakukan perjalanan ke arah kesempurnaan. Terdapat dua argumentasi yang bisa
diutarakan untuk membuktikan bahasan ini, yaitu:
1.
Perangkat penciptaan akan
mengarahkan segala eksistensi dan maujud-maujud ke arah puncak kesempurnaan
(hidayah takwiniyyah).
2.
Pengangkatan dan pengutusan para
Nabi (hidayah tasyri’iyyah).
Dalam pengamatan terhadap maujud-maujud alam keberadaan -sekecil apapun
pengamatan tersebut- akan menunjukkan bahwa seluruh mereka akan melangkah ke
arah kesempurnaan. Biji-biji gandum atau biji buah-buahan yang tersembunyi di
dalam tanah akan senantiasa melintasi tahapan-tahapan sehingga sampai pada
kesempurnaan akhirnya yaitu menjadi tangkai-tangkai gandum atau buah-buah yang
ranum. Demikian pula sebuah nutfah yang menggumpal di dalam rahim seorang ibu,
sejak awal kemunculan akan bergerak ke arah tujuan akhirnya yaitu menjadi
manusia dalam keadaan yang sempurna.
Apabila kita perhatikan, secara umum setiap maujud-maujud alam penciptaan
berada dalam keadaan bergerak dengan hidayah takwiniyyah ke arah kesempurnaan
jenisnya masing-masing.
Di sini akan diisyaratkan
pada beberapa poin:
a.
Untuk menganalisa bagaimana alam
tabiat melakukan perjalanannya ke arah kesempurnaan, maka kita harus mengetahui
makna dan mafhum dari kesempurnaan. ita harus pula melihat apa sebenarnya
maksud dan tujuan filosofi Islam dari kesempurnaan.[17]
Dari pandangan filsafat Islam, jika sesuatu
dari potensi mencapai tahapan aktualisasinya, maka kita akan mengatakan bahwa
sesuatu tersebut menemukan kesempurnaannya. Dan gerak substansi yang
dikemukakan oleh Mula Sadra dengan definisi ini pun merupakan penjelas wujud
kesempurnaan dalam sesuatu, karena pada gerak substansi dimana gerakan terjadi
pada zat sesuatu, sesuatu tersebut dalam setiap tahapan dari tahapan-tahapan
wujudnya akan mengubah potensi-potensi dan kemampuan-kemampuannya menjadi
teraktual. Dan sesuatu tersebut pada tahapan barunya akan kehilangan
kesempurnaan yang sebelumnya dia miliki dan akan memperoleh kesempurnaan
lainnya. Para filosof dalam mendefinisikan gerak mengatakan, “Gerak adalah
keluarnya sesuatu dari potensi secara bertahap kepada aktualisasi “
Berdasarkan definisi ini, setiap jenis
gerak merupakan gerak yang mengarah pada kesempurnaan. Hal ini dikarenakan
dalam setiap bentuk gerak, potensi-potensi akan berubah menjadi aktual.
Bebijian yang tersembunyi di kedalaman tanah dan tumbuh hingga menjadi sebatang
pohon yang rimbun dengan buah, setiap saatnya berada dalam keadaan menyempurna.
Sebuah apel yang awalnya berwarna kuning senantiasa akan melakukan gerak
menyempurna ke arah warna merah, supayaa potensi warna merah yang sejak awal
telah dimilikinya sampai pada pengaktualannya. Sel-sel yang berubah menjadi
manusia, geraknya adalah gerak yang menyempurna, karena pada awalnya dia telah
memiliki potensi untuk menjadi manusia, dan ketika telah berubah menjadi
seorang manusia berarti potensi-potensi dan kemampuan-kemampuannya telah sampai
pada tahapan aktual. Bahkan gerak di tempat pun merupakan sebuah gerakan yang
menyempurna, karena benda yang bergerak dan berpindah dari satu tempat ke
tempat lainnya, memiliki potensi ini yang kemudian telah berubah menjadi
aktual. Demikian pula dengan gerak bumi yang merotasi atau gerakannya
mengelilingi matahari, juga merupakan gerakan menyempurna, karena bumi pada
awalnya telah memiliki potensi untuk melakukan gerak rotasi atau gerak
mengelilingi bumi dan ketika gerakan ini terwujud, maka apa yang ditampakkannya
adalah potensi dan kemampuannya yang telah berubah mengaktual.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan
menyempurna adalah perubahan mengaktualnya potensi dan kemampuan yang dimiliki
oleh sesuatu, baik hal ini akan menambahkan volume pada sesuatu ataupun tidak,
sebagaimana yang persangkaan salah yang dikemukakan oleh sebagian yang
mengatakan, jika sebuah sesuatu telah menemukan penyempurnaannya, maka pasti
volumenya akan bertambah. Sekarang ketika dikatakan, kesempurnaannya bertambah,
maka yang dimaksudkan disini bukanlah kebertambahan dalam dimensi sesuatu
tersebut, melainkan sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya, yang
dimaksud dengan kesempurnaan di sini adalah mengaktualnya potensi-potensi dan
kemampuan-kemampuan.
b. Setiap maujud memiliki potensi dimana berdasarkan potensi
tersebutlah ia akan menyempurna. Sebagai contoh, potensi yang dimiliki oleh
tumbuh-tumbuhan sama sekali tidak akan pernah dimiliki oleh in-organik. Dari
sinilah sehingga kemudian dikatakan bahwa masing-masing akan menemukan
pengaktualan sifat dan keberadaannya sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Dengan kata lain, setiap maujud akan bergerak menyempurna berdasarkan sifat dan
potensi yang dimilikinya.Oleh karena itu, kesempurnaan setiap maujud harus
dilihat dari hubungan dan interaksi dengan potensi-potensi yang dimiliki oleh
maujud tersebut dan sama sekali tidak bisa dikatakan bahwa satu bentuk
kesempurnaan tertentu bisa diletakkan untuk seluruh maujud.
c. Kesempurnaan merupakan persoalan yang nisbi. Yaitu suatu sifat
mungkin saja bisa menjadi sebuah kesempurnaan bagi sesuatu, akan tetapi bagi
sesuatu lainnya hal ini merupakan ketaksempurnaannya, misalnya rasa manis,
untuk buah-buahan seperti apel dan buah pear merupakan sebuah kesempurnaan,
akan tetap untuk jeruk nipis hal ini menjadi ketaksempurnaan baginya.
d. Kondisi lingkungan dan faktor-faktor eksernal dzat kadangkala
menjadi penghambat bagi mengaktualnya potensi-potensi internal yang dimiliki
oleh maujud-maujud. Misalnya, air dan udara yang tidak layak dan ketiadaan
perhatian terhadap tumbuh-tumbuhan akan menyebabkan terhambatnya perwujudan
sifat-sifat keberwujudan tumbuhan. Biji-biji gandum yang tertanam di bawah
tanah, jika tidak mendapatkan perawatan yang baik, maka ia akan menjadi layu
dan musnah.
Ringkasnya, di dalam diri setiap eksistensi
senantiasa terdapat kekuatan potensi yang tersembunyi, dimana ia akan melewati
tahapan-tahapan berdasarkan gerak substansinya. Setiap tahapan jika
diperbandingkan dengan tahapan sebelumnya merupakan aktual dan jika
diperbandingkan dengan tahapan setelahnya merupakan potensial.
Setiap eksistensi setelah melewati seluruh
lintasan kesempurnaan dan meninggalkan potensi-potensi dan aktual-aktual yang
beragam, pada akhirnya akan sampai pada kesempurnaan dirinya. Sebagai contoh,
buah-buahan seperti apel dan jeruk yang pada tahapan awalnya merupakan
biji-bijian, ia akan meninggalkan tahapan-tahapan dan bergerak menyempurna
dalam kediriannya yaitu sampai pada jenis buah-buahan yang memiliki rasa,
bentuk dan khasiat-khasiat yang khas.
e. Tujuan akhir penciptaan adalah manusia, sebagaimana yang telah
kami isyaratkan sebelumnya, setiap maujud alam penciptaan memiliki tujuan dan
sasaran dimana sejak awal kemunculannya akan bergerak ke arah tujuan dan
sasarannya tersebut. Bebijian tumbuhan yang berada di dalam kedalaman tanah
berada dalam geraknya sehingga setelah melintasi tahapan-tahapan akan sampai
pada aktualisasinya dan misalnya berubah menjadi buah. Atau telur yang berada
di bawah eraman seekor ayam akan melakukan persiapan untuk mengalami perubahan
menjadi seekor anak ayam, sehingga setelah melewati tahapan ini pun dia akan
berubah menjadi seekor ayam dan …
Selain itu, masing-masing dari maujud dan
eksistensi ini akan menjadi tujuan dari maujud-maujud lainnya, yaitu alasan
terciptanya suatu maujud adalah supaya maujud lainnya bisa memanfaatkannya,
misalnya tumbuh-tumbuhan telah tercipta supaya manusia dan binatang bisa
memanfaatkannya, atau binatang-binatang tercipta supaya manusia bisa
memanfaatkannya, dengan ibarat lain, begitu maujud-maujud ini mencapai
aktualisasi akhir dari dirinya dan dipergunakan oleh manusia, maka dia telah
sampai pada tujuan akhirnya.
Allah Swt berfirman dalam ayat-ayat-Nya,
“Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu. Kemudian Dia
(berkehendak) menciptakan langit, lalu Dia menjadikannya tujuh langit. Dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu.“ (Qs. Al-Baqarah [2]: 29) “Dia-lah yang
menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, …” (Qs.
Al-Baqarah [2]: 22) “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, dan ‘Arasy-Nya berada di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara
kamu yang lebih baik amalnya, …” (Qs. Hud [7]: 7)
Jadi, kita memiliki kesempurnaan awal dan
kesempurnaan akhir. Kesempurnaan maujud-maujud merupakan sebuah kesempurnaan
awal untuk kesempurnaan manusia. Bahkan pada manusia sendiri terdapat pula
kesempurnaan-kesempurnaan permulaan atau awal yang kesempurnaan itu bukan
merupakan tujuan akhir, misalnya ilmu dan pengetahuan yang secara sendirinya
merupakan sebuah bentuk kesempurnaan yang harus dipergunakan untuk mendukung
kesempurnaan akhir manusia yang tak lain adalah kedekatan rububiyyah. Oleh
karena itu, seluruh kesempurnaan eksistensi-eksistensi di alam penciptaan
merupakan kesempurnaan awal bagi kesempurnaan akhir yang tak lain adalah
kedekatan rububiyyah.[18]
KOMENTAR :
[1] Pada
dasarnya yang ingin disampaikan adalah bahwa manusia itu harus secara sadar,
berpengetahuan, dan bebas menjadi hamba Tuhan. Manusia harus yakin bahwa
Tuhanlah yang layak untuk disembah dalam segala bentuknya. Tuhan tidak ingin
memaksa makhluk dan ciptaannya untuk menyembahnya. Dengan demikian, manusia dan
makhluk adalah penyembah Tuhan yaitu bahwa ia senantiasa menyembah-Nya. Jadi
titik tekan penyembahan dan ibadah di sini adalah bahwa manusia dan makhluk
sebagai subyek yang menyembah, bukan obyek yang disembah.
[3] Syarh
Ushul Kafi, J. 9, hal. 62; Biharul Anwar, J. 16, hal. 406.
[4] Ahadits
Matsnawi, hal. 172
[5] Rasail
Kurki, J. 3, hal. 162; Syarh Asma al-HUsna, J. 1, hal. 139
[6] Mustadrak
Safinah al-Bihar, J. 8, hal. 215
[7] Roh-e
Rasm-e Zendegi, hal. 137
[8] Niyoyesh,
hal. 12 & 17
[9] Din wa
Rawon, hal. 154-158
[10] Ibid
[11] Yang dimaksud dengan kedekatan rububiyyah adalah
bahwa manusia sampai pada maqam dimana dia menemukan hubungannya dengan Tuhan.
Kita ketahui bahwa seluruh eksistensi dan maujud-maujud dalam penciptaan
memiliki interaksi dengan-Nya. Seluruh maujud-maujud alam tidaklah bergantung
sebagaimana kebergantungan mereka kepada-Nya.
[12] Mukhtashar
Bashair ad-Darajat, hal. 160
[13] Al-Lum’atu
al-Baidha, hal. 169
[14] Risalah
Liqaullah, hal. 253-254
[15] Seperti
air yang meresap kedalam tanah atau ruh yang berada dalam badan (menurut
pemikiran filsafat Peripatetik), atau sebagaimana faham Reinkarnasi
[16] Mehr-e
Tobon, hal. 200-202
[17] Kesempurnaan
berasal dari kategori kedua filosofi, dan yang dimaksud dengan kategori kedua
filosofi
[18] Kesempurnaan
berasal dari kategori kedua filosofi, dan yang dimaksud dengan kategori kedua
filosofi adalah aksidensinya berada di dalam benak dan pensifatannya berada di luar,
wujud dirinya tidak berada di luar secara mandiri melainkan tersifatkan pada
sesuatu yang lain, seperti tunggal dan banyak, sebagaimana kita mengetahui di
alam eksternal kita tidak memiliki sesuatu yang bernama tunggal atau banyak,
apa yang terdapat di alam eksternal-lah yang tunggal atau banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar